Powered By Blogger

Rabu, 29 Juni 2011

Analisis Cerpen "anakku Lahir dari Rahim Televisi"

PENDAHULUAN
Dewasa ini banyak sekali karya sastra yang dihasilkan oleh para seniman. Baik itu seniman terkenal ataupun seniman yang berasal dari kalangan mahasiswa sendiri. Dalam makalah ini, kita akan menganalisis dan mengapresiasi sebuah Cerpen yang berjudul Anakku Lahir dari Rahim Televisi  karya R. Guryadi yang dimuat dalam kolom cerpen koran Jawa Pos edisi minggu 29 mei 2011. Analisis kali ini akan dikhususkan pada analisis latar/setting.
Peristiwa-peristiwa dalam cerita terjadi  pada rentang waktu dan tempat tertentu. Latar sebagai gambaran tempat dan waktu atau segala sesuatu tempat terjadinya peristiwa. Semi (dalam Supriyadi : 2002:11) mengatakan, latar atau setting  cerita adalah lingkungan tempat cerita terjadi. Termasuk di dalam latar adalah tempat atau ruang. Unsur latar adalah waktu, hari, tahun, musim, atau periode sejarah, kerumunan orang di sekitar tokoh juga termasuk latar.
Pradopo (dalam Supriyadi :2002:11), latar atau setting  berdasarkan fungsinya dibagi menjadi lima bagian, yaitu :
1.      Tempat, baik diluar maupun di dalam rumah yang melingkupi tokoh atai tempat terjadinya peristiwa;
2.      Waktu terjadinya peristiwa, meliputi musim, iklim, bulan, tahun, dan sebagainya;
3.      Alat atau benda dalam kehidupan tokoh;
4.      Lingkungan hidup, menyangkut lingkungan tempat, lingkungan kehidupan atau pekerjaan;
5.      Sistrem kehidupan, yang sesuai dengan lingkungan kehidupan tokoh.
Teori tersebut akan digunakan sebagai kerangka teori dalam menganalisis  latar atau setting cerpen Anakku Lahir dari Rahim Televisi  karya R. Guryadi.


ISI
Penulis menggunakan teori Pradopo yang membagi latar menjadi lima, yaitu tempat, lingkungan kehidupan, sistem kehidupan, waktu, dan alat
Latar adalah tempat terjadinya peristiwa yang ada  di dalam cerita. Menurut Rahmat Djoko Pradopo, latar dibagi menjadi lima, yaitu :
1.      Latar Tempat
Tempat terjadinya peristiwa dalam novel tersebut adalah di pematang sawah dan di depan televisi. Hal tersebut dapat diketahui dari data berikut:
Aku takut mendengar jeritan anak-anak yang berlari di pematang sawah.
(kalimat pertama paragraf pertama)
Itu tidak penting. Adzan subuh sudah berlalu. Aku masih termangu di depan televisi.
(kalimat ketiga paragraf 40)
Data tersebut memaparkan dengan jelas bahwa tokoh menjalani peristiwa di pematang sawah. Selanjutnya pada data kedua, tokoh  menjalani peristiwa di depan sebuah televisi.
2.      Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan waktu terjadinya peristiwa. Latar waktu menunjukkan waktu tertentu dan adapula yang menggantikan istilah pengganti waktu, namun pada intinya memunyai maksud yang sama, yaitu menciptakan suasana tertentu dalam cerita.
Cangkul dan tampah, dipukul bertalu-talu. Malampun kian melaju.
(paragraf 4)
Data tersebut menjelaskan latar waktu yaitu pada malam hari. Karena sudah jelas dituliskan bahwa malampun kian melaju.
Data lain yang mendukung latar waktu adalah sebagai berikut:
Itu tidak penting. Adzan subuh sudah berlalu. Aku masih termangu di depan televisi.
(kalimat kedua paragraf 41)
“kang, bangun!” lamat-lamat terdengar suara istriku. “sudah, siang masih saja mendengkur! Apa tidak kerja?”
(paragraf 45)
Pada kedua data diatas juga disebutkan latar waktu yang berbeda. Pada data yang pertama disebutkan bahwa latar waktu yang dipakai adalah pagi hari. Lebih tepatnya setelahadzan subuh. Data yang kedua menyebutkan latar waktu yang dipakai adalah siang hari. Dalam data tersebut disebutkan  bahwa istri tokoh utama berusaha membangunkan tokoh utama yang masih terlelap.
3.      Latar Alat
Suatu alat merupakan sarana yang digunakan para tokoh untuk beraktivitas sehari-hari. Alat atau benda yang berhubungan dengan kehidupan para tokoh yang ada di dalam cerita.
Bermain-main layang-layang mengusir mendung dan halilintar yang menyambar-nyambar ujung rambutnya.
(kalimat terakhir paragraf pertama)
Cangkul dan tampah dipukul, dipukul bertalu-talu. Malampun kian melaju.
(paragraf 4)
“kemana anak-anak?! Ditelan grahono!” suara tetabuhan cangkul, tampah, dan rinjing, terus bertalu-talu.
(kalimat pertama paragraf 5)
Di koran kuning, terpampang judul besar tentang seorang bapak yang membakar hidup-hidup anak istrinya karena kelaparan.
(kalimat pertama paragraf 13)
Sementara di televisi disiarkan, seorang anak kepalanya membesar, seorang anak lahir dempet, seorang anak lahir tanpa bapak, seorang anak lahir di tengah dentuman meriam, seorang anak yang tak bisa membeli es krim di siang hari, karena ibunya tak memberinya uang.
(kalimat pertama paragraf 14)
Air mata istriku perlahan menetes. Aku mengusapnya dengan jarik sidomukti kumal peninggalan orang tua. Hanya itu warisan yang sangat berharga.
(paragraf 32)
“Apa tidak ingat, sukir minta tas sekolah gambar Ipin-Upin!” teriak istriku.
(paragraf 46 kalimat pertama)
Aku matikan televisi. Aku keluar rumah, menghunus sangkur.
(paragraf 49 kalimat pertama)
Data tersebut menunjukkan adanya alat yang berhubungan dengan tokoh dalam cerita, yaitu : layang-layang, cangkul, tampah, rinjing, koran, televisi, jarik Sidomukti, tas sekolah Ipin-Upin, dan sangkur.
4.      Latar Lingkungan Kehidupan
Lingkungan kehidupan menyangkut tempat, lingkungan kehidupan atau lingkungan pekerjaan.
Aku takut mendengar jeritan  anak-anak yang berlari di pematang sawah....
(kalimat pertama paragraf pertama)
Data di atas memaparkan kehidupan tempat tinggal tokoh, yaitu tokoh berada di lingkunga pedesaan. Itu dibuktikan  dengan adanya pematang sawah. Lingkungan pedesaan juga dibuktikan pada paragraf 5 yaitu:
“Kemana anak-anak?! Ditelan grahono!” suara tetabuhan cangkul, tampah, dan rinjing, terus bertalu-talu...
(kalimat pertama paragraf 5)
Tradisi tersebut juga merupakan tradisi yang ada di pedesaan. Tradisi itu biasanya dilakukan ketika ada seorang anak yang hilang pada saat petang ataupun malam. Masyarakat pedesaan meyakini, jika anak tersebaut memang di culik/disembunyikan makhluk halus, maka maklhuk tersebut akan berjoget ketika mendengar tetabuhan tersebut dan anak tersebut dilepaskan.

5.      Latar Sistem Kehidupan
Latar sistem kehidupan berkaitan dengan lingkungan yang ada. Lingkungan kehidupan pelaku tentunya memunyai sistem kehidupan dan cara-cara tersendiri.
“Kemana anak-anak?! Ditelan grahono!” suara tetabuhan cangkul, tampah, dan rinjing, terus bertalu-talu...
(kalimat pertama paragraf 5)
Tradisi/adat tersebut merupakan tradisi yang ada di pedesaan. Tradisi itu biasanya dilakukan ketika ada seorang anak yang hilang pada saat petang ataupun malam. Masyarakat pedesaan meyakini, jika anak tersebaut memang di culik/disembunyikan makhluk halus, maka maklhuk tersebut akan berjoget ketika mendengar tetabuhan tersebut dan anak tersebut dilepaskan.
Ada juga data yang ada sebagai berikut:
Sementara, di luar sana, sepuluh tindah dari kamarku orang-orang bercengkerama tentang sebuah tragedi....
(kalimat 1 dan 2 paragraf 12)
Data diatas menunjukkan sistem kehidupan masyarakat Jawa. Jawa Timur khususnya. Bahwa setiap ada bayi yang  baru lahir, selalu di adakan melek’an (begadang)  yang dikenal dengan istilah “jagong bayi”.











PENUTUP
Pada intinya, kelima latar tersebut saling mengisi dalam pembentukan sebuah cerita sehingga menghidupka suasana cerita. Cerpen Anakku Lahir dari Rahim Televisi  memunyai keterjalinan antar unsur yang sangat erat. Keterjalinan antar unsur tersebut dapat mendukung makna secara utuh da menyeluruh.
Secara keseluruhan, latar/setting yang digunakan oleh pengarang sangat cocok dan relevan dengan judul yang dipilih. Selain latar bersifat mendukung judul, semua latar yang dipakai juga berkaitan antara judul dan antar latar satu sama lain.






















DAFTAR PUSTAKA
1.    Supriyadi, Didik. 2002. Analisis Struktural dan Pragmatik Novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis. Skripsi
2.    Sofa. 2008. Apresiasi Prosa Indonesia. http://massofa.wordpress.com/2008/03/07/apresiasi-prosa-indonesia/. Diakses tanggal 31 Mei 2011
3.    Brata. 2009. Hakikat Apresiasi Prosa. http://mbahbrata.wordpress.com/2009/06/21/apresiasi-prosa/. Di akses tanggal 31 Mei 2011

INTERFERENSI dan CAMPUR KODE

Abstrak dan Kata Kunci
Pemakaian bahasa di kalangan tidak bisa  lepas sepenuhnya dari interferensi dan campur kode dari bahasa lain. Khususnya  mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Jember angkatan 2009. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2009 menggunakan interfensi dan campur kode dalam penggunaan bahasa dalam keseharian mereka. Sedangkan metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode simak-analisis. Yaitu pengambilan data dengan cara menyimak sebuah percakapan, selanjutnya menganalisis data yang telah di dapat.
Kata Kunci
Interferensi
Campur Kode
Join
Nyrutu - Srutu - Cerutu
Mahasiswa adalah salah satu unsur masyarakat yang tidak bisa lepas dari berkomunikasi, khususnya berkomunikasi dengan teman-teman mahasiswa mereka sendiri. dalam berkomunikasipun mahasiswa tidak bisa lepas dari bahasa Indonesia. Disamping itu, para mahasiswa juga tidak bisa lepas dari Interferensi bahasa dan campur kode bahasa. Baik dengan bahasa daerah dari masing-masing mahasiswa ataupun dengan bahasa asing.
Dari hal tersebut, penulis ingin mengetahui sejauh mana pengaruh campur kode dan interferensi bahasa yang terjadi di kalangan mahasiswa.
Campur kode adalah penggunaan lebih dari satu bahasa atau kode dalam satu wacana menurut pola-pola yang masih belum jelas (Nababan dalam Arthur Yap dalam Ohoiwutun, 1997:69). Pencampuran bahasa inilah yang sering terjadi dan ada di kalangan mahasiswa, khususnya mahasiswa pendidikan bahasa dan sastra Indonesia angkatan 2009. Masalah yang ditimbulkan dari pencampuran bahasa tersebut adalah rancunya penggunaan bahasa itu sendiri. terlebih lagi tidak dimengerti oleh lawan tutur. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemecahan masalahnya adalah memberikan pengetahuan tentang interfensi bahasa dan campur kode.
Diharapkan, penelitian dan penulisan ini nantinya dapat memberikan manfaat  pengetahuan tentang interfensi dan campur kode. sehingga nantinya diharapkan juga, masyarakat pengguna bahasa, khususnya mahasiswa, dapat mengerti dan memahami tentang interfensi bahasa dan campur kode serta mampu menggunakannya dengan efektif dan tepat sasaran.

Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak-analisis. dalam metode ini, data dikumpulkan melalui simakan oleh peneliti kepada beberapa sampel. setelah melakukan simakan, kemudian peneliti menulis hasil simakannya tersebut untuk dijadikan data penelitian.
Sumber data didapat langsung dari proses komunikasi berbahasa yang dilakukan oleh mahasiswa pendidikan bahasa dan sastra Indonesia angkatan 2009. ini dimaksudkan agar peneliti tidak begitu luas dalam melakukan penelitiannya.
Setelah mendapatkan data yang di inginkan, peneliti menganalisis data dengan cara mencari bentuk interferensi dan campur kode dari data yang telah ada. selanjutnya peneliti menganalisis data tersebut  dilihat dari segi pemakaian dan keefektifan pengguna bahasa tersebut. Selanjutnya peneliti mencoba menghadirkan  suatu pengertian  baru tentang interferensi dan campur kode kepada pembaca.



Hasil dan Pembahasan
Data yang diperoleh :
1.      Kamu pulang? Kamu pulang? Lek iki bendino muleh.
2.      Ninda  : Kapan kamu mau pulang ke mbanyuwangi?
Andre  : Mbesok paleng.
Ninda  : Kalau begitu aku nunut yo?
Andre  : Iyo
3.      Timbul : Mari tugas prosamu?
Nurul     : Belum. Punyamu mari ta?
Timbul   : mari
4.      Mas roni! Mau kemana? Join to mas mas nyrutune.
Dari dat diatas, di dapati bahwa adanya kata-kata atau bahasa yang mengalami interferensi dan pencampuran bahasa yang biasa disebut dengan campur kode. Dari data di atas, di dapati sedikitnya ada 3 bahasa yng dipakai. Yaitu bahasa Indonesia, bahasa Jawa, dan bahasa Inggris.
Selanjutnya data-data diatas haruslah dianalisis dari kalimat per kalimat :
1.      Kamu pulang? Kamu pulang? Lek iki bendino muleh.
(Kamu pulang? Kamu pulang? Kalau ini setiap hari pulang.)
2.      Ninda  : Kapan kamu mau pulang ke mbanyuwangi?
(Kapan kamu mau pulang ke Banyuwangi?)
Andre  : Mbesok paleng.
(Besok mungkin)
Ninda  : Kalau begitu aku nunut yo?
(Kalau begitu saya menumpang ya?)
Andre  : Iyo
(Iya)
3.      Timbul : Mari tugas prosamu?
(Selesai tugas prosamu?
Nurul     : Belum. Punyamu mari ta?
(Belum. Punyamu selesai ta?)
Timbul   : mari
(Selesai)
4.      Mas roni! Mau kemana? Join to mas mas nyrutune.
(Mas Roni! Mau kemana? Join to mas mas nyrutune)
Melihat data-data di atas, mungkin timbul sebuah pertanyaan. Apa bedanya interferensi dengan campur kode? Sebab contoh tersebut juga bisa dikatakan sebagai campur kode. Seperti telah kita tahu, campur kode adalah Penggunaan serpihan-serpihan bahasa lain yang bisa berupa kata, frase, dan klausa dalam menggunakan suatu bahasa. Contoh diatas adalah contoh kalimat bahasa Indonesia yang di dalamnya terdapat pencampuran bahasa dengan bahasa jawa dan Inggris. Jawaban dari pertanyaan di atas mungkinlah seperti ini : Campur kode mengacu pada digunakannya serpihan-serpihan bahasa lain dalam menggunakan suatu bahasa tertentu. Sedangkan interferensi mengacu pada adanya penyimpangan dalam menggunakan suatu bahasa dengan memasukkan sistem bahasa lain.
Dilihat dari segi kemurnian bahasa, interferensi pada tingkat apapun (fonologi, morfologi, dan sintaksis) merupakan “penyakit”, sebab, bisa “merusak” bahasa. Jadi perlu dihindarkan.
Namun, kalau dilihat dari usaha pengembangan bahasa, interferensi ini merupakan suatu rahmat, sebab dia merupakan suatu mekanisme yang sangat penting untuk memperkaya dan mengembangkan suatu bahasa untuk mencapai taraf sebagai bahasa yang sempurna untuk dapat digunakan dalam segala bidang komunikasi.
Menurut Soewito (dalam Chaer dan Agustina, 1995:167), ia membuat bagan sebagai berikut:

Bahasa Asing
Bahasa Indonesia
Bahasa Daerah
A1

D1
A2, dst
D2,dst


Sehubungan dengan adanya bahasa yang “kaya” dengan kosakata, dan bahasa yang masih bekembang yang kosakatanya belum banyak, timbul pertanyaan, apakah hanya bahasa “kaya” yang bisa menjadi donor, dan bahasa “miskin” hanya menjadi resipien, ataukah sebaliknya : bahasa “miskin” juga bisa menjadi donor pada bahasa “kaya”. menurut logika. Menurut logika, memang hanya bahasa kayalah yang memunyai peluang untuk menjadi donor., sedangkan bahasa miskin hanya sebagai resipien, dan tak berpeluang menjadi bahasa donor. Namun, dalam kenyataannya, karena bahasa itu erat kaitannya dengan budaya masyarakat penuturnya, maka dapat dikatakan tidak sejalan dengan pendapat tersebut. bahwa kenyataanya bahasa yang dianggap miskin juga dapat menjadi donor kosakata pada bahasa kaya.
Itu semua sudah terbukti dalam inerferensi yang ada di kalangan mahasiswa pendidikan bahasa dan sastra Indonesia angkatan 2009. Walaupun pemakaian bahasa sehari-hari mereka mayoritas adalah bahasa Indonesia, namun pencampuran kode dan interfensi yang ada justru membuktikan bahwa bahasa jawa juga sangat berperan penting.
Jadi, bisa disimpulkan bahwa interfensi leksikal bukanlah ditentukan oleh kaya dan miskinnya suatu bahasa, melainkan oleh pengaruh budaya masyarakat bahasa yang melekat pada bahasa itu. Karena dari contoh data yang diambil juga, para mahasiswa yang terlibat komunikasi, masing-masing berlatar belakang budaya yang berbeda, ada jawa, madura, dan sebagainya.

Kesimpulan dan Saran
Campur kode adalah Penggunaan serpihan-serpihan bahasa lain yang bisa berupa kata, frase, dan klausa dalam menggunakan suatu bahasa. Sedangkan interferensi mengacu pada adanya penyimpangan dalam menggunakan suatu bahasa dengan memasukkan sistem bahasa lain.
Di lingkungan mahasiswa pendidikan bahasa dan sastra Indonesia angkatan 2009, interfensi dan campur kode sudah sering terjadi, bahkan selalu terjadi. Oleh karena itu, interfensi dan campur kode yang dilakukan oleh para mahasiswa tersebut perlu diteliti. Apakah penggunaannya efektif atau tidak. Namun nyatanya, para mahasiswa tersebut memahami dan mengerti dengan pembicaraan yang terdapat interferensi dan campur kode, karena menganggap campur kode sebagai pertolongan bagi merka karena penguasaan kosakata bahasa Indonesia yang terbatas.
Interfensi leksikal bukanlah ditentukan oleh kaya dan miskinnya suatu bahasa, melainkan oleh pengaruh budaya masyarakat bahasa yang melekat pada bahasa itu. Karena dari contoh data yang diambil juga, para mahasiswa yang terlibat komunikasi, masing-masing berlatar belakang budaya yang berbeda, ada jawa, madura, dan sebagainya. Jadi, para mahasiswa disisni umunya menggunakan campur kode sebagai alat pertolongan bagi merka yang belum memunyai penguasaan banyak tentang kosakata bahasa Indonesia.

Daftar Rujukan
Chaer dan Agustina Leonie. 1995. Sosiolinguistik perkenalan awal. Jakarta. penerbit Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta. Penerbit Rineka Cipta.
Ohoiwutun, Paul. 1997. Sosio-Linguistik, memahami bahasa dalam konteks masyarakat dan kebudayaan. Jakarta. Visipro.

Analisis Makna Denotatif dan Konotatif dalam Puisi Angkatan Buta

BAB I. PENDAHULUAN

1.1.            Latar belakang
Bahasa adalah  sebuah sistem lambang bunyi arbitrer yang digunakan oleh masyarakat untuk tujuan komunikasi. Dalam ilmu bahasa dibagi lagi ada beberapa ilmu. Diantaranya: fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, pragmatik, dan sebagainya. Dalam makalah ini, akan dipelajari Analisis Semantik.Bahasa merupakan alat komunikasi yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena melalui bahasa manusia dapat berinteraksi dengan sesamanya, mengungkapkan pikiran, pengalaman, dan pengetahuannya kepada orang lain (wirjosoedarmo dalam wardani, 2010:1).
Secara singkat dan populer dapatlah kita katakan bahwa “semantik adalah telaah mengenai makna” (George,1964:1). Dari pengertian sederhana tersebut dapat kita simpulkan bahwa semantik adalah ilmu yang mempelajari tentang makna. Kaitannya dengan kehidupan sehari-hari, semantik juga banyak ditelaah/dianalisis. Salah satunya dalam karya sastra, baik puisi, prosa, drama, novel dan lain-lain.
Dalam sebuah karya sastra, tidak bisa lepas dari sebuah makna. Walaupun dalam karya sastra biasanya juga terdapat makna kiasan-kiasan yang memerlukan waktu untuk memahaminya. Di sisi lain, sebuah karya sastra juga memiliki nilai tersendiri jika dianalisis dengan ilmu semantik. Walaupun dalam ilmu kesastraan dan stilistika terdapat istilah Licentia Poetica, yaitu kebebasan seorang sastrawan untuk menyimpang dari kenyataan baik dari bentuk atau aturan konvensional bahasa untuk menghasilkan efek yang dikehendakinya (Shaw,1972). Tetapi seperti kita tahu di awal, bahwa semua tulisan atau kata pasti memunyai makna. Maka, dalam makalah ini di ambil judul “Makna Denotatif dan Konotatif dalam Puisi Angkatan Buta  (sebuah kajian semantik)”.

1.2.             Rumusan masalah
1.      Apa yang dimaksud makna denotatif dan makna konotatif?
2.      Apakah terkandung makna denotatif dan konotatif dalam puisi Angkatan Buta karya M. Nasiruddin Timbul Joyo
3.      Kata mana sajakah yang termasuk dalam makna denotatif dan makna konotatif?

1.3.            Tujuan
Mengetahui dan mempelajari makna denotatif dan konotatif dalam karya sastra. Khususnya puisi Angkatan Buta karya M. Nasiruddin Timbul Joyo.



BAB II. PEMBAHASAN
Menurut Soedjito(dalam Dewi, 2010:9), makna denotatif (referensial) adalah makna yang menunjuk langsung pada acuan atau makna dasarnya, sedangkan makna konotatif (evaluasi atau emotif) adalah makna tambahan terhadap makna dasarnya yang berupa nilai rasa atau gambaran tertentu. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai perbedaan kata bermakna denotatif dan bermakna konotatif, dapat dilihat dari contoh berikut ini.

kata
Makna denotatif
Makna konotatif
Hitam
Jenis warna
Berduka cita
Mampus
Mati
Kasar (mati)
babi
binatang
Haram/najis

Contoh-contoh di atas memberikan gambaran bahwa kata hitam dan mampus, merupakan kata-kata yang menunjukkan langsung pada acuan/makna dasarnya, sedangkan kata duka cita dan kasar, merupakan makna tambahan yang sudah bernilai rasa. Berikut ini penggunaan makna denotatif dan konotatif dalam kalimat:
1)      Anak-anak yang di aula itu sedang berebut kursi karena pertunjukan segera dimulai.
2)      Siapapun yang bermaksud berebut kursi pimpinan perusahaan harus memenuhi syarat yang telah ditentukan formatur.
(setyana,1999:57)
Contoh (1) merupakan contoh penggunaan kata denotatif. Kata kursi merupakan kata denotatif karena mengacu pada makna sebenarnya yang bermakna benda yang berfungsi sebagai tempat duduk. Sementara contoh(2) merupakan contoh penggunaan kata konotatif. Kata kursi memunyai arti jabatan, kata kursi memunyai nilai rasa yang tinggi daripada kata jabatan.
Sejalan dengan Soedjito, Oka dan Soeparno (1994:235) menyatakan bahwa makna denotatif merupakan makna dasar suatu kata atau satuan bahasa yang bebas dari nilai rasa, sedangkan makna konotatif adalah makna kata yang merupakan makna tambahan dan memiliki nilai rasa. Nilai rasa itu dapat bersifat positif dan bersifat negatif. Maksud dari konotasi positif dan negatif menurut Chaer (dalam Oka dan Soeparno,1994:235), dapat dilihat dari contoh tabel di bawah ini:




Wanita
Perempuan
1.      Berpendidikan lebih/tinggi
Berpendidikan kurang
2.      Modern dalam segala hal
Tidak atau kurang modern
3.      Kurang berperasaan keibuan
Berperasaan keibuan
4.      Malas ke dapur
Rajin ke dapur

Dari contoh di atas dapat disimpulkan bahwa kata wanita memunyai konotasi positif karena memiliki nilai rasa lebih sopan dan tinggi dibandingkan kata perempuan.
Dari uraian tentang kata denotasi dan konotasi di atas, dapat disimpulkan bahwa kata bermakna denotasi dan kata bermakna konotasi memunyai sejumlah ciri-ciri. Ciri kata bermakna denotasi yaitu:
1)      Makna kata sesuai apa adanya,
2)      Makna kata sesuai hasil observasi,
3)      Makna yang menunjukkan langsung pada acuan atau makna dasarnya.
Ciri kata bermakna konotasi yaitu:
1)      Makna tidak sebenarnya,
2)      Makna tambahan yang dikenakan pada sebuah makna konseptual, dan
3)      Makna tambahan berupa  nilai rasa.
2.1. Penganalisisan puisi Angkatan Buta.
Angkatan Buta

Mau apa datang kemari
Hanya unjuk rai
Ijazah harga serupiah
Tak perlu bersusah bergelut berbuku

Dari jauh berlabuh
Hanya pamer bentuk tubuh
tak butuh
Menjauh!

Jika otak angankan angka
Tinggalkan pikir
Plagiatkan diri

Hanya inginkan liur
Mending mendengkur! Nglindur!

Tak mampu matamu lihat dunia
Tangis! Bengis! Najis! Pengais!
Tusukkan garpu makan
Butakan sekalian!

Pundak punah perkasanya
Sana! Sudahi saja sisa usia
                                               
                                                Muntijo

Dalam puisi di atas ada beberapa kata yang memunyai makna denotatif dan konotatif yang akan kita bahas perbaris.
1)      Baris pertama
Mau apa datang kemari
Kata tersebut di atas tergolong memunyai makna denotatif. Karena kata-kata tersebut di atas merupakan sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada pembaca tentang tujuannya datang ke sebuah tempat.
2)      Baris kedua
Hanya unjuk rai
Dalam baris kedua tersebut terdapat makna konnotatif yang memunyai nilai negatif. Kata unjuk rai yang berarti wajah (kasar) dalam bahasa jawa diartikan sebagai memperlihatkan diri, kelebihan, ataupun hartanya.
3)      Baris ketiga
Ijazah harga serupiah
Kata ijazah dalam baris ketiga memunyai arti denotatif sekaligus arti konotatif. Arti denotatif dari ijazah yaitu surat keterangan lulus ataupun sejenisnya. Sedangkan makna konotatifnya adalah ijazah bermakna gelar.
Kata yang mengandung makna konotatif dalam baris ketiga yang lain adalah kata serupiah yang diartikan tidak memunyai harga. Jadi, di baris ketiga ini bisa bermakna bahwa ijazah ataupun gelar tidak memunyai harga.
4)      Baris ke empat
Tak perlu bersusah bergelut berbuku
Memunyai arti denotatif saja atau hanya makna asli yang terdapat di dalamnya, sebagai lanjutan dari kata-kata baris kedua.
5)      Baris ke lima
Dari jauh berlabuh
Kata berlabuh dalam baris ke lima juga memunyai makna denotatif dan konotatif. Arti denotatifnya adalah kata yang dipakai untuk mengungkapkan bahwa perahu akan bersandar di dermaga. Namun di baris ke lima ini kata berlabuh memunyai makna datang.
6)      Baris ke enam
Hanya pamer bentuk tubuh
Kata tersebut di atas hanya memunyai makna denotatif. Yaitu datang hanya untuk pamer bentuk tubuh. Bisa juga di artikan mejeng.
7)      Baris ke tujuh dan delapan
tak butuh
Menjauh!
Baris ke tujuh dan delapan masih hanya memunyai makna denotatif saja. Kata-kata itu dipakai pengarang untuk meluapkan apa yang dirasakan oleh pengarang.
8)      Baris ke sembilan
Jika otak angankan angka
Dalam baris ke sembilan ini pengarang mencoba menggambarkan bahwa seolah-olah yang di imajinasikan pengarang adalah mahasiswa yang hanya berpikiran tentang sebuah nilai yang akan di dapat. Jadi, disini memunyai makna konotatif.
9)      Baris ke sepuluh dan sebelas
Tinggalkan pikir
Plagiatkan diri
Kata-kata yang terdapat di baris ke sepuluh dan sebelas memunyai kaitan makna dengan baris ke sembilan. Baris ke sepuluh dan sebelas bermakna tidak mau berpikir dan hanya bisa mengopy paste pekerjaan orang lain. Pada baris ke sepulih dan sebelas juga memunyai makna konotatif.
10)  Baris ke dua belas
Hanya inginkan liur
Kata hanya inginkan liur memunyai makna konotatif, yaitu hanya ingin bersantai saja.
11)  Baris ke tiga belas
Mending mendengkur! Nglindur!
Baris ke tiga belas juga bermakna konotatif. Yakni memunyai arti mendingan sekalian bersantai sampai sesantai-santainya.
12)  Baris ke empat belas dan lima belas
Tak mampu matamu lihat dunia
Tangis! Bengis! Najis! Pengais!
Pada baris ke empat belas dan lima belas juga memunyai makna konotatif. Yaitu seolah-olah yang di imajinasikan oleh pengarang tak mampu melihat atau merasakan bagaimana kehidupan  itu yang sebenarnya. Yang semula juga di imajinasikan hanya ingin bersantai. Tidak bisa merasakan tangisan, bengis, najis, ataupun melihat keadaan pengais.
13)  Baris ke enam belas dan tujuh belas
Tusukkan garpu makan
Butakan sekalian!
Makna konotatif juga muncul pada baris ke enam belas dan tujuh belas. Yaitu pada kata-kata Tusukkan garpu makan, butakan sekalian!. Makna dari kata-kata tersebut disini adalah berikan saja mereka kenyamanan sekalian. Karena biasanya orang desa yang makan memakai garpu adalah ketika memakan makanan enak, atau mungkin juga karena latar belakang pengarang yang juga orang desa. Sedangkan kata-kata butakan sekalian bermaksud agar mereka semua yang bersantai,tetap larut dalam kesantaian dan kenyamanan itu, tetap tidak memperdulikan semua trangisan, bengis, najis, dan pengais yang dikatakan oleh pengarang sebelumnya.
14)  Baris ke delapan belas
Pundak punah perkasanya
Di baris ke delapan belas ini semuanya kata-katanya mengandung makna konotatif. Yang dimaksud pundak disini adalah generasi muda. Jika dikaitkan dengan kata dan bait sebelumnya, maka arti disini adalah jika para pemuda semua sudah kehilangan semangat dan hanya bersantai-santai, hilanglah pula kekuatan atau keunggulan dari para generasi tersebut.
15)  Baris ke sembilan belas
Sana! Sudahi saja sisa usia
Makna konotatif yang terkandung disini adalah seperti halnya kata “mati saja!”. Dengan rincian jika dikaitkan dengan kata dan bait sebelumnya. Daripada menjadi generasi yang kurang bersemangat dan hanya bisa bersantai-santai saja, mendingan mati saja, daripada hidup hanya menjadi benalu tanpa sumbangsih apapun dan tanpa kerja keras.


BAB III. KESIMPULAN

Berdasarkan analisis dan uraian yang telah dibahas, dapat disimpulkan bahwa:
1.      Makna denotatif dan konotatif selalu kita temukan dalam puisi Angkatan Buta.
2.      Walaupun setiap baris dan bait mempunyai makna denotatif dan konotatif, tetapi setiap kata, baris dan bait dalam puisi tersebut saling berhubungan maknanya. Tidak bisa dipisah-pisahkan.
3.      Berkenaan dengan masalah konotasi, satu hal yang harus kita ingat. Bahwa konotasi sebuah kata bisa berbeda seseorang dengan orang lain, antara satu daerah dengan daerah lain. Ada kalanya bermakna konotasi posotif maupun negatif.


BAB IV. LAMPIRAN DATA

Angkatan Buta

Mau apa datang kemari
Hanya unjuk rai
Ijazah harga serupiah
Tak perlu bersusah bergelut berbuku

Dari jauh berlabuh
Hanya pamer bentuk tubuh
tak butuh
Menjauh!

Jika otak angankan angka
Tinggalkan pikir
Plagiatkan diri

Hanya inginkan liur
Mending mendengkur! Nglindur!

Tak mampu matamu lihat dunia
Tangis! Bengis! Najis! Pengais!
Tusukkan garpu makan
Butakan sekalian!

Pundak punah perkasanya
Sana! Sudahi saja sisa usia
                                               
                                                Muntijo


BAB V. DAFTAR PUSTAKA

1.      Tarigan, H.G. 1985. Pengajaran Semantik. Bandung : Penerbit Angkasa Bandung.
2.      Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.
3.      WWW.SEASITE.NIU.EDU. Kumpulan Puisi Karya Ida at deKalb. Diakses tanggal 17 mei 2010.
4.      WWW.AGUSSUYOTO.BLOGSPOT.COM. Dasar-dasar Analisis Puisi. Diakses tanggal 17 mei 2010.
5.      Wardani, Dian Kusuma. 2010. Ragam Gaya Bahasa Perulangan Pada Cerpen Cerita Pendek Karya Djenar Maesa Ayu. Skripsi.
6.      Dewi, Diana Maria. 2010. Diksi dan Gaya Bahasa Pada Ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri Berbahasa Indonesia Melalui Short Message Service (SMS). Skripsi.